Sumpah Pemuda baru lahir dua tahun kemudian. Pada 1928, Moh Yamin menerbitkan sebuah kumpulan sajak yang baru berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Itu menunjukkan perubahan kesadaran para pemuda. Ketika Kongres Indonesia Muda kedua (Kongres Pemuda II) diselenggarakan pada 1928, bahasa Melayu sudah lama menjadi bahasa pergaulan yang dipakai secara luas di seluruh kepulauan Nusantara. Namun, saat itu kedudukan bahasa Melayu belum kuat. Sebagian ahli Belanda menganjurkan agar bahasa Belanda menjadi bahasa resmi di seluruh Indonesia (dipakai seluruh penduduk Bumiputera). Namun, ada juga ahli Belanda yang menganggap bahasa Belanda itu begitu tinggi sehingga tidak pantas dipakai oleh kaum inlander (Indonesia). Karena ada perbedaan paham ini maka pemerintah kolonial Belanda tidak segera sampai pada kebijakan untuk menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi satu-satunya.